Selasa, 21 Juni 2011

penerapan hukum islam di Indonesia



A.    Penerapan Hukum

1.      Syariat Islam Tentang Penataan Hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumnya. Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul-Nya.
Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia. Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah. Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia, melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah. Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas. Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-norma  hukum adat atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga. Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
2.       Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams, mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.

3.      Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Teori RIC menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie. Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
4.       Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku. (3) dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Dr. Alfian, teori receptive berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.

5.      Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”.
 Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.
Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.

6.       Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.
 Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.
7.       Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional. Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.




B.     Perkembangan dan keberadaan Hukum Islam di Indonesia

1.      Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
2.      Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
Ø  Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
Ø   Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Ø  Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
3.      Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
Ø  Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
Ø  Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
Ø  Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
Ø  Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
Ø  Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
Ø  Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
4.      Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
5.      Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
6.      Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
C.    Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam

1.      Faktor-faktor Pendukung Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
Ø  Jumlah umat Islam cukup signifikan.
Ø  Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
Ø  Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
Ø  Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
Ø  Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.


2.       Kendala-Kendala dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut
Ø  Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
Ø  Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
Ø  Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
Ø  Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar